Fungsi pada dasarnya adalah sistem yang saling berkaitan
antara unsur-unsur pembentuknya. Istilah sistem (systema, dalam bahasa Yunani)
bisa berarti entitas atau alat analisis.Suatu sistem merupakan entitas yang
tersusun dari berbagai unsur, unit, komponen secara integral atau teratur untuk
menjaga keseimbangan sistem itu sendiri. Sistem merupakan keseluruhan perangkat
yang tersusun dari sekian banyak bagian dan berfungsi secara timbal balik. Ia
saling memberi dan menerima guna memelihara dan mendukung suatu keseimbangan.
Relasi yang terjadi diantara komponen dalam sistem umumnya bersifat teratur dan
berkesinambungan”.1.
Suatu budaya musik mencakup gagasan-gagasan, tindakan,
karena musik adalah suatu gejala manusia, untuk manusia dan mempunyai fungsi
sosial dalam situasi sosial.2. Hal ini karena berbagai unsur dalam sistem
bersifat fungsional. Fungsi sosial musik dalam masyarakat harus dilihat bahwa
musik itu berperan dan dapat memberi, sehingga ia dapat bertahan dalam
kehidupan masyarakat. Begitu juga dengan keberadaan musik Dayak dalam
masyarakat pemiliknya, mereka memerlukan keberadaan sebuah musik untuk
kepentingannya, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan sosial. Hal ini
karena pandangan yang tumbuh dalam masyarakat Dayak menyatakan bahwa musik
mempunyai hubungan dengan kehidupannya, memiliki fungsi, simbol, dan nilai yang
berhubungan dengan kepercayaan, adat istiadat, sekaligus sebagai ciri budaya
lokal.
Hubungan sosial masyarakat mempunyai kesatuan yang dinamakan
kesatuan fungsional.3. Hubungan antara fungsi itu saling terkait dan mendukung
antara satu dengan lainnya. Begitu pula dengan musik dan upacara, ia merupakan
sesuatu yang mempunyai fungsi bagi masyarakat dan berperan sebagai tonggak
keberlangsungan budaya sebagai efek dari kebudayaan adat atau pranata solidaritas
sosial.4. Kenyataan fungsionalitas ini akhirnya memposisikan musik sebagai
hasil dari aktivitas artistik dan dijadikan sebagai literatur estetik bagi
masyarakat itu sendiri.
Irama
musik Dayak mempunyai fungsi secara internal dan eksternal. Secara internal
musik mempunyai fungsi bagi upacara itu sendiri. Meskipun pada dasarnya musik
adalah bagian upacara, namun ia juga mempunyai peranan untuk mempertegas
posisinya, sehingga musik tersebut memberikan makna khusus bagi upacara yang
diikutinya.
Fungsi internal sejalan dengan fungsi upacara, karena musik
merupakan bagian dari upacara yang mempunyai fungsi sama dengan fungsi upacara.
Musik sebagai bagian upacara tidak terlepas dari peranan upacara itu sendiri.
Upacara memberikan ruang gerak kepada musik, sehingga musik mempunyai
keleluasaan untuk membentuk jalinan fungsi di dalamnya. Begitu juga sebaliknya,
upacara ditunjang oleh keberadaan musik sebagai unsur penting di dalamnya yang
mambuat upacara itu bermakna dan berfungsi bagi masyarakat pemiliknya.
Upacara berperan sebagai pembentuk identitas budaya. Ia
merupakan wadah kreatifitas dari sumbangan yang diberikan kepada keseluruhan
sistem sosial. Hal ini terjadi karena suatu unsur kebudayaan akan tetap
bertahan apabila memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakatnya, sebaliknya
unsur itu akan punah bila tidak berfungsi lagi.5. Fungsi musik secara internal
melibatkan peran musik dalam menentukan bentuk pemberian musik sesuai
penempatannya. Misalnya musik dimainkan pada prosesi tertentu, maka prosesi itu
telah berperan sebagai wadah yang menyebabkan musik berfungsi bagi prosesi
upacara tersebut. Hubungan keduanya menciptakan keharmonisan antara peranan
musik yang berfungsi dan peranan upacara sebagai wadah dari fungsi. Fungsi
musik di sini dapat dikategorikan menjadi tujuh fungsi, yaitu: (1) sebagai
pemanggil kekuatan gaib; (2) Penjemput roh-roh leluhur pelindung untuk hadir di
tempat pemujaan; (3) memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat; (4)
sebagai pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat
kehidupan seseorang; (5) pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu
dalam perputaran waktu; (6) peringatan kepada nenek moyang dengan menirukan
kegagahan dan kesigapannya; (7) Perwujudan dari hasrat untuk mengungkapkan
keindahan”.6.
Musik
Dayak juga mempunyai fungsi eksternal, yaitu yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat. Fungsi ini lebih mengarah kepada peranannya dalam masyarakat,
sehingga musik tersebut dianggap dapat memberikan sesuatu hal penting bagi
masyarakat. Fungsi eksternal mencakup gagasan-gagasan atau ide-ide yang sejalan
dengan kebutuhan masyarakat. Ia harus dilihat sebagai “sesuatu yang memberi”
untuk melengkapi kehidupan masyarakat, baik berhubungan dengan konsep
kepercayaan atau bagian dari suatu tatanan sosial yang dibangun bersama.
Sesungguhnya
fungsi musik dalam masyarakat tidak terlepas dari peran masyarakat
pendukungnya. Perkembangannya sejalan dengan perkembangan intelektualitas dan
kreativitas masyarakat pemiliknya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
konsep kepercayaan maupun adat yang berlaku dituangkan ke dalam musik, sehingga
musik mempunyai fungsi sebagai penyelaras kehidupan sosial yang bersifat
normatif. Ia dapat menyelaraskan hubungan antar individu dan hubungan manusia
dengan dunia gaib. Disamping itu musik juga diperlukan untuk penghayatan
nilai-niali estetis dan pembelajaran falsafah kehidupan, sebagai contoh fungsi
musik dalam upacara Baliatn di masyarakat Dayak Kanayatn.
Secara
etimologi Baliatn terdiri dari dua suku kata, yaitu Ba dan Liatn. Ba mempunyai
arti melakukan atau sedang melakukan, sedangkan Liatn adalah nama salah satu
jenis ritual perdukunan dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Baliatn berarti
mengerjakan atau melaksanakan upacara ritual perdukunan, sama artinya dengan
Badendo dan Belenggang atau melakukan ritual Dendo dan Lenggang.7.
Bentuk Penyajian
Penyajian merupakan segala sesuatu yang dipakai sebagai suguhan, jamuan atau hidangan.8. Istilah penyajian dalam sebuah pertunjukan dapat berarti atraksi maupun adegan yang dikemas menjadi salah satu peristiwa kesenian, seperti bagaimana sebuah musik disajikan dan bagaimana konteks pementasannya. Aspek ini merupakan sarana untuk mempermudah mengetahui konsep nilai, penggunaan, fungsi dan hubungannya dengan aspek lain, sehingga dapat dilihat dan dipelajari ciri-ciri musik tersebut sebagai sebuah pertunjukan.
Penyajian merupakan segala sesuatu yang dipakai sebagai suguhan, jamuan atau hidangan.8. Istilah penyajian dalam sebuah pertunjukan dapat berarti atraksi maupun adegan yang dikemas menjadi salah satu peristiwa kesenian, seperti bagaimana sebuah musik disajikan dan bagaimana konteks pementasannya. Aspek ini merupakan sarana untuk mempermudah mengetahui konsep nilai, penggunaan, fungsi dan hubungannya dengan aspek lain, sehingga dapat dilihat dan dipelajari ciri-ciri musik tersebut sebagai sebuah pertunjukan.
Sebuah
sajian musik dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sajian ritual dan sajian
hiburan. Sajian ritual cenderung terkait dengan upacara dan berhubungan dengan
hal-hal gaib, seperti makhluk halus, roh leluhur, dewa, dan Tuhan. Penyajian
musik ini secara spesifik biasanya berhubungan dengan agama atau kepercayaan
masyarakat pemiliknya. Sajian musik hiburan tujuan hanya untuk menghibur dan
tidak terkait dengan unsur ritual. Adapaun Ciri-ciri ritual suatu penyajian
musik atau upacara dapat dikenal dengan bentuk pertujukan, yaitu: (1) Untuk apa
musik itu disajikan; (2) Waktu penyajian; (3) Tempat pergelaran; (4) Instrumen
yang digunakan; (5) Kostum; (6) Lagu yang dibawakan, dan; (7) Pemain.9. Melalui
ciri-ciri inilah dapat diketahui bahwa musik tersebut termasuk dalam kategori
musik ritual atau bukan.
1) Tujuan Penyajian Musik dan Upacara
Secara mendasar tujuan penggunaan musik dalam upacara ritual adalah untuk mendukung upacara, sekaligus sebagai bagian penting upacara. Upacara dianggap sebagai wadah sakral yang dapat menghubungkan manusia dengan segala kekuatan di jagad raya ini, termasuk pula hubungan manusia dengan Tuhan. Ia dianggap sebagai suatu yang suci, megah, dan sakral, terutama dijumpai pada upacara-upacara besar yang melibatkan banyak pelaku. Pelaksanaannya senantiasa dimeriahkan dengan musik sebagai lambang kemegahan upacara.
Secara mendasar tujuan penggunaan musik dalam upacara ritual adalah untuk mendukung upacara, sekaligus sebagai bagian penting upacara. Upacara dianggap sebagai wadah sakral yang dapat menghubungkan manusia dengan segala kekuatan di jagad raya ini, termasuk pula hubungan manusia dengan Tuhan. Ia dianggap sebagai suatu yang suci, megah, dan sakral, terutama dijumpai pada upacara-upacara besar yang melibatkan banyak pelaku. Pelaksanaannya senantiasa dimeriahkan dengan musik sebagai lambang kemegahan upacara.
Upacara
ritual dapat dikatakan sebagai sebuah wadah perilaku religius yang sarat dengan
kekuatan gaib. Ia tidak mengandung arti apa-apa bila tidak disertai tindakan
dan peralatan yang bersifat sakral dan religius. Tindakan itu dapat berupa
mantra, tarian, dan laku persembahan, sedangkan peralatan sakral itu dapat
berupa sesaji, kostum, jimat, dan instrumen musik yang digunakan dalam upacara.
Tanpa dua pendukung upacara itu, sebuah upacara hanya bersifat profan (formal)
seperti upacara kenegaraan dan lain sebagainya.
Tujuan
penyajian musik dapat dilihat dari pelaksanaan upacara. Tujuan upacara ritual
pada dasarnya untuk mengadakan hubungan religius dengan penguasa atau kekuatan
gaib. Jenis-jenis ritual itu dapat berupa pengobatan, perdamaian dengan makhluk
halus karena diganggu, perbaikan tingkat kehidupan, keselamatan, ungkapan
syukur, peringatan daur kehidupan, dan lain sebagainya. Pada tahapan ini musik
berfungsi sebagai media komunikasi antara manusia dengan sesuatu yang gaib.
Melalui ciri-ciri inilah dapat diketahui bahwa sebuah upacara bersifat sakral
atau formal, dan secara otomatis dapat pula diketahui bahwa musik yang
digunakan dalam upacara bersifat ritual atau bukan.
2) Waktu
Waktu terkait erat dengan sistem upacara, karena antara waktu penggunaan musik dengan upacara biasanya menjadi satu kesatuan yang saling mendukung penempatannya masing-masing. Penggunaan musik Dayak dalam upacara perdukunan (liatn) disesuaikan dengan pelaksanaan upacara yang biasanya dilaksanakan malam hari. Hal ini karena waktu tersebut dipercaya masyarakat setempat sebagai masa makhluk halus berkeliaran, sehingga mudah dipanggil untuk diberi makan atau dimintai tolong untuk melakukan sesuatu.
Waktu terkait erat dengan sistem upacara, karena antara waktu penggunaan musik dengan upacara biasanya menjadi satu kesatuan yang saling mendukung penempatannya masing-masing. Penggunaan musik Dayak dalam upacara perdukunan (liatn) disesuaikan dengan pelaksanaan upacara yang biasanya dilaksanakan malam hari. Hal ini karena waktu tersebut dipercaya masyarakat setempat sebagai masa makhluk halus berkeliaran, sehingga mudah dipanggil untuk diberi makan atau dimintai tolong untuk melakukan sesuatu.
3). Tempat
Penyajian musik dalam upacara liatn biasanya bertempat di ruangan tengah atau tempat yang agak luas. Hal ini dilakukan agar pelaku upacara dapat bergerak dengan leluasa, terutama agar pamaliatn dapat menari dengan bebas. Posisi pemain musik berdekatan dengan tempat pamaliatn menari agar dapat melihat langsung tari yang diiringi. Disamping itu tempat sengaja dipilih berdekatan dengan pamaliatn untuk mengetahui jalannya upacara.
Penyajian musik dalam upacara liatn biasanya bertempat di ruangan tengah atau tempat yang agak luas. Hal ini dilakukan agar pelaku upacara dapat bergerak dengan leluasa, terutama agar pamaliatn dapat menari dengan bebas. Posisi pemain musik berdekatan dengan tempat pamaliatn menari agar dapat melihat langsung tari yang diiringi. Disamping itu tempat sengaja dipilih berdekatan dengan pamaliatn untuk mengetahui jalannya upacara.
4) Pemain Musik
Pemain adalah orang yang terlibat langsung dalam sebuah pertunjukan kesenian. Ia merupakan seorang penyaji atau seniman yang mempresentasikan karyanya untuk tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan irama musik Dayak Kanayatn dalam upacara biasanya berorientasi pada nilai-nilai estetis yang dapat menyentuh penikmatnya. Penyajian ini dilalui dengan berbagai proses dari pencarian dan pengembangan ide, penuangan teknik, kemudian menyajikannya dalam sebuah upacara. Penyajian ini berhubungan langsung dengan teknik dan gaya penampilan presentasi musikal, karena sebuah presentasi mencakup konsep, ide musikal, bentuk, dan teknik penyajian tertentu sebagai bagian daya tarik penampilan sebuah musik. Disamping itu pemain musik bukan sekedar memainkan musik apa adanya, melainkan ada beberapa hal yang harus ia ketahui dan harus dijalani (laku ritual) sebelum upacara, sampai kepada penampilannya saat upacara berlangsung.
Pemain adalah orang yang terlibat langsung dalam sebuah pertunjukan kesenian. Ia merupakan seorang penyaji atau seniman yang mempresentasikan karyanya untuk tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan irama musik Dayak Kanayatn dalam upacara biasanya berorientasi pada nilai-nilai estetis yang dapat menyentuh penikmatnya. Penyajian ini dilalui dengan berbagai proses dari pencarian dan pengembangan ide, penuangan teknik, kemudian menyajikannya dalam sebuah upacara. Penyajian ini berhubungan langsung dengan teknik dan gaya penampilan presentasi musikal, karena sebuah presentasi mencakup konsep, ide musikal, bentuk, dan teknik penyajian tertentu sebagai bagian daya tarik penampilan sebuah musik. Disamping itu pemain musik bukan sekedar memainkan musik apa adanya, melainkan ada beberapa hal yang harus ia ketahui dan harus dijalani (laku ritual) sebelum upacara, sampai kepada penampilannya saat upacara berlangsung.
5) Instrumen
Semua perlengkapan dan tingkah laku dalam upacara, seperti menyanyikan atau membacakan mantra, menari, memainkan musik, termasuk sesaji dan properti yang dikenakan pamaliatn (dukun) dipercaya mempunyai kekuatan gaib. Kekuatan itu dapat dimanfaatkan untuk melindungi dirinya dari gangguan makhluk halus dan dipercaya oleh masyarakat Dayak dapat mendatangkan roh halus yang dipanggil. Hal ini karena kekuatan gaib tersebut tidak hanya terdapat atau bersemayam dalam perilaku upacara saja, namun melekat pula pada semua bahan atau properti yang digunakan dalam upacara. Antara instrumen, jimat, dan properti lainnya dalam suatu upacara ritual merupakan satu kesatuan sakral yang penggunaannya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
6) Kostum
Kostum adalah pakaian kebesaran yang digunakan dalam suatu kegiatan.13. Kostum di sini meliputi baju dan celana yang dikenakan pelaku upacara, seperti pamaliatn, panyampakng, anak samang, dan pemain musik. Kostum yang digunakan berfungsi untuk memperindah penampilan. Sebagai contoh kostum yang digunakan dalam upacara Baliatn.
Semua perlengkapan dan tingkah laku dalam upacara, seperti menyanyikan atau membacakan mantra, menari, memainkan musik, termasuk sesaji dan properti yang dikenakan pamaliatn (dukun) dipercaya mempunyai kekuatan gaib. Kekuatan itu dapat dimanfaatkan untuk melindungi dirinya dari gangguan makhluk halus dan dipercaya oleh masyarakat Dayak dapat mendatangkan roh halus yang dipanggil. Hal ini karena kekuatan gaib tersebut tidak hanya terdapat atau bersemayam dalam perilaku upacara saja, namun melekat pula pada semua bahan atau properti yang digunakan dalam upacara. Antara instrumen, jimat, dan properti lainnya dalam suatu upacara ritual merupakan satu kesatuan sakral yang penggunaannya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
6) Kostum
Kostum adalah pakaian kebesaran yang digunakan dalam suatu kegiatan.13. Kostum di sini meliputi baju dan celana yang dikenakan pelaku upacara, seperti pamaliatn, panyampakng, anak samang, dan pemain musik. Kostum yang digunakan berfungsi untuk memperindah penampilan. Sebagai contoh kostum yang digunakan dalam upacara Baliatn.
Sesungguhnya
pemain musik dalam upacara liatn tidak mempunyai keharusan untuk memakai baju
tertentu, kecuali pamaliatn harus menggunakan sarung seperti seorang perempuan.
Hal ini karena nenek moyang pamaliatn pertama adalah seorang perempuan,
sehingga untuk menghormati hal tersebut pamaliatn menggunakan sarung sebagai
lambang seorang perempuan yang pertama kali menjadi pamaliatn.
7) Pelaksanaan upacara
Pelaksanaan upacara Baliatn ((melakukan perdukunan) yang biasanya diiringi musik Dayak pemakaiannya ditentukan oleh Pamaliatn (Dukun). Panyampakng (pembantu dukun dalam menjalankan ritual) memberitahukan musik apa yang harus ditabuh oleh pemain musik setelah ia mendapat instruksi dari pamaliatn. Musik yang dimainkan pada tiap prosesi berbeda-beda, menyesuaikan penyakit atau niat penyelenggara. Oleh karena itu dalam prosesi Bajampi (membuang penyakit) banyak musik yang dipakai. Adapun pemakaian musik Dayak dalam upacara liatn menyesuaikan dengan prosesi upacara dan perintah dari Pamaliatn.14.
Pelaksanaan upacara Baliatn ((melakukan perdukunan) yang biasanya diiringi musik Dayak pemakaiannya ditentukan oleh Pamaliatn (Dukun). Panyampakng (pembantu dukun dalam menjalankan ritual) memberitahukan musik apa yang harus ditabuh oleh pemain musik setelah ia mendapat instruksi dari pamaliatn. Musik yang dimainkan pada tiap prosesi berbeda-beda, menyesuaikan penyakit atau niat penyelenggara. Oleh karena itu dalam prosesi Bajampi (membuang penyakit) banyak musik yang dipakai. Adapun pemakaian musik Dayak dalam upacara liatn menyesuaikan dengan prosesi upacara dan perintah dari Pamaliatn.14.
Kepustakaan
1.
Lahajir, Etnoekologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang (Yogyakarta:
Galang Press, 2001), p. 50.
2.
Alan P. Meriam, “The Anthropology of Music” seperti dikutip I Komang Sudirga
dalam bukunya Cakepung: Ansambel Vokal Bali (Yogyakarta: Kalika Press, 2005),
p. 20.
3.
A.R Redcliffe Brown, Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif (Kuala
Lumpur: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980), p. 210.
4.
A.R. Redcliffe Brown, “Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif”, seperti
yang dikutip I Komang Sudirga, op.cit., p. 128.
5.
Mulyadi, et.al., Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah
Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DIY,
1984), p. 4.
6.
Edy Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), p.
53.
7.
Wawancara langsung dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun Dendo, 28
April 2006, Dsn. Saleh Bakabat, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah Temila, Kab.
Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.
8.
Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer (Surabaya: Bintang
Timur, 1995), p. 250.
9.
I Wayan Senen, “Aspek Ritual Musik Nusantara”, makalah yang diajukan dalam
rangka peringatan Lustrum II ISI Yogyakarta, 23 Juli 1994, p. 4.
10.
Regina, Mantra in Baliatn in The Dayak Society (Malang: IKIP Malang, Tesis S-2,
1997), pp. 58-59.
11.
Sebagian masyarakat zaman dahulu percaya, bahwa dukun Baliatn Daniang dapat
menghidupkan orang mati.
12.
Regina, op.cit., pp. 59-60.
13.
Bambang Marhijanto, op.cit., p. 334.
14.
Wawancara langsung dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun Dendo, 30
April 2006, Dsn. Saleh Bakabat, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah Temila, Kab.
Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.
1. Mulai Punahnya Kebiasaan Memanjangkan Daun Telinga
Tanda
identitas Dayak yang paling mencolok bagi orang-orang luar adalah praktik
menindik dan memanjangkan daun telinga, meskipun tidak semua suku melakukan
tradisi ini. Di Kalimantan Timur, tradisi ini masih terus dilakukan oleh
orang-orang Dayak Kenyah, Bahau, dan Kayan.1. Di kalangan orang Dayak Kenyah,
baik laki-laki maupun perempuan memiliki daun telinga yang sengaja
dipanjangkan, akan tetapi panjangnya berbeda-beda antara laki-laki dan
perempuan. Kaum laki-laki tidak boleh memanjangkan telinganya sampai melebihi
bahunya, sedang kaum perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada.
Proses
penindikan daun telinga ini sendiri dimulai sejak masa kanak-kanak, yaitu sejak
berusia satu tahun. Kemudian setiap tahunnya mereka menambahkan satu buah
anting atau subang perak. Anting atau subang perak yang dipakai pun
berbeda-beda, gaya anting yang berbeda-beda ini menunjukkan perbedaan status
dan jenis kelamin. Seperti misalnya kaum bangsawan memiliki gaya anting sendiri
yang tidak boleh dipakai oleh orang-orang biasa.
Sedangkan
menurut penduduk Dayak Kenyah, pemanjangan daun telinga di kalangan masyarakat
Dayak secara tradisional berfungsi sebagai penanda identitas kemanusiaan
mereka. Senada dengan hal itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan
bagi masyarakat Kenyah dan Bahau, orang-orang yang tidak bertelinga panjang
dianggap serupa dengan kera (1995/1996:125).
Menurut
penelitian Dr. Yekti Maunati yang berkunjung ke Desa Long Mekar, sebuah desa
Dayak di mana Dayak yang „otentik‟ yang serupa dengan orang Dayak yang
hidup di pedalaman tinggal, ternyata penduduk Desa Long Mekar sendiri tidak
semua memiliki tato dan daun telinga yang panjang. Belakangan, terbukti bahwa
hal ini hanya sebagian benar, karena banyak orang yang telah memotong daun
telinga mereka yang [dulu sudah terlanjur] panjang8. Pemotongan daun telinga
ini sendiri dilakukan di rumah sakit melalui sebuah operasi kecil. Hanya
sedikit penduduk yang masih memiliki daun telinga yang panjang, itupun
kebanyakan para manula yang berusia di atas 60 tahun. Dr. Yekti Maunati
kemudian menceritakan mengenai perbincangannya dengan seorang perempuan tua
bernama Mamak Ngah, yang sejak kedatanganya di Long Mekar dulu sudah memotong
daun telinganya yang semula panjang. Berikut isi perbincangannya.
“Saya
malu bertelinga panjang. Jadi saya pun memotongnya seperti yang dilakukan
banyak orang lainya. Saya punya pengalaman buruk ketika orang-orang
menertawakan saya karena daun telinga saya yang panjang itu. Ketika saya
pergi ke Samarinda untuk pertama kalinya dulu, orang-orang datang dan
mengerumuni saya dan memandangi saya seolah-olah saya ini orang aneh. Mereka
berkata, „Dia itu orang Dayak…dia makan manusia.‟ Mereka menyentuh daun telinga saya
yang panjang itu. saya merasa sangat tersinggung. Saya diperlakukan seolah saya
ini sebuah benda. Saya putuskan untuk memotong daun telinga saya yang panjang
agar orang tidak lagi selalu menonton saya dan mengira saya makan manusia.
Dengan begitu orang tidak akan mengira kalau saya ini seorang Dayak. Tentu
saja, orang masih bisa melihat tato-tato saya, tetapi sayato h bisa
menyembunyikannya dengan mengenakan rok panjang dan baju berlengan panjang”.2.
Perkataan
Mamak Ngah ini jelas menunjukkan sudah berkurangnya rasa kebanggaan yang
dimiliki penduduk Dayak. Mereka menjadi kurang menghargai nilai-nilai budaya
yang mereka miliki, mereka malu pada kebiasaan memanjangkan daun telinga yang
sudah diterapkan suku Dayak sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Mereka tidak
menyadari bahwa orang-orang non-Dayak akan mengagumi dan menghargai orang-orang
Dayak yang bertelinga panjang. Alih-alih menghargai, mereka malah malu akan
identitas ke-Dayak-annya. Sebuah penanda fisik seperti telinga yang panjang
dianggap sesuatu yang memalukan.
Isu
mengenai apakah penanda fisik ke-Dayak-an ini , seperti daun telinga yang
panjang, harus dilestarikan, kerap kali diperdebatkan oleh penduduk desa itu
sendiri. Hanya sedikit orang yang berpendapat bahwa para orang tua yang
mempunyai anak harus didorong untuk melestarikan tradisi, dengan cara
memanjangkan daun telinga anak-anak mereka. Sebenarnya penduduk Dayak sendiri
sadar bahwa mereka harus melestarikan tradisi mereka, karena jika tidak maka
orang Dayak akan kehilangan tradisi yang berharga tersebut. Tetapi mereka juga
berpendapat, bila suatu saat anak mereka pergi bersekolah ke kota-kota besar,
maka anak mereka akan merasa malu karena terlihat berbeda dari anak-anak lain.
Seperti pendapat Mely, tiga puluh tahun, yang memotong daun telinganya dan
mengatakan bahwa ia tidak menyesali keputusannya untuk memotong daun
telinganya. Ia menyatakan bahwa orang-orang tua boleh saja menyesalinya karena
daun telinga yang panjang sekarang ini dapat menjadi sumber penghasilan, tetapi
baginya seorang Dayak haruslah terpelajar dan punya pekerjaan yang layak.3.
Bila
kita analisis lebih lanjut, timbulnya rasa malu tersebut turut disebabkan oleh
modernisasi dan globalisasi yang mulai merasuki kehidupan masyarakat Dayak.
Globalisasi ini kemudian membuat rakyat Dayak menjadi kurang menghargai
nilai-nilai budaya yang mereka miliki, karena mereka menjadi lebih menghargai
nilai-nilai yang berlaku di dunia internasional. Kebiasaan memanjangkan telinga
yang tidak biasa di dunia internasional membuat warga Dayak menjadi berada
dalam kebingungan mengenai haruskah mereka melestarikan nilai-nilai budaya
mereka, yang kini diangap sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman?
Dulu,
sebelum globalisasi dan modernisasi masuk ke kehidupan masyarakat Dayak, mereka
sangat menghargai nilai-nilai budayanya, dalam hal ini memanjangkan daun
telinga yang dianggap sebagai pertanda bahwa mereka adalah bangsa yang beradab.
Namun sejak globalisasi masuk, muncul anggapan bahwa bangsa yang beradab bukan
seperti apa yang mereka pikirkan selama ini. Mereka mulai merasa mereka berbeda
dari bangsa atau suku lain, yang mendapat cap “beradab” lebih dari
mereka. Keberbedaan itu lantas menimbulkan
keraguan
dalam diri mereka, sehingga pada akhirnya mereka menjadi nilai budaya yang
mengatakan bahwa memanjangkan daun telinga adalah tanda suatu bangsa yang
beradab. Penolakan terhadap nilai budaya inilah yang kemudian menyebabkan hanya
sedikit warga Dayak, terutama kalangan muda, yang masih menjalankan kebiasaan
memanjangkan daun telinga.
Padahal
daun telinga yang panjang tersebut merupakan hal yang unik, yang dikagumi oleh
masyarakat non-Dayak. Tidak seharusnya masyarakat Dayak malu akan penanda fisik
tersebut, karena rasa malu itu pada akhirnya dapat menyebabkan punahnya salah
satu nilai budaya di masyarakat Dayak.
2. Punahnya Nilai Membuat Tato pada Masyarakat Dayak
membuat
tato tradisional dayak
Selain
daun telinga yang panjang, penanda fisik ke-Dayak-an lainnya adalah tato.
Perempuan dari kalangan usia paro baya dan manula di Dayak rata-rata memiliki
tato di sekujur lengan dan kakinya. Bagi kaum perempuan, keberadaan tato di tubuh
mereka menunjukkan mereka adalah anggota keluarga bangsawan. Orang-orang
Kenyah, Bahau, Iban, dan Kayan memiliki tato, sedangkan kelompok-kelompok Dayak
lainnya tidak mengikuti praktik ini. 4. Motif-motif untuk kaum perempuan Kenyah
meliputi rantai-rantai anjing, motif-motif perang, tanduk-tanduk binatang di
bagian lengan dan paha, dam motif-motif lingkaran di betis atau pergelangan
kaki. Tato-tato pada suku Kenyah adalah tanda kedewasaan, sementara bagi kaum
laki-laki tato merupakan tanda bahwa mereka sudah menjelajahi „negeri orang. 5.
dan telah melakukan sesuatu yang luar biasa, seperti membunuh musuh dalam
peperangan. 6.
Senada
dengan penjelasan di atas, M. Sjaifullah dan Try Harijono dalam artikelnya di
Kompas, 22 Oktober 2004 yang berjudul “Makna Tato bagi Masyarakat Dayak”
mengatakan bahwa tato bagi sebagian masyarakat etnis Dayak merupakan bagian
dari tradisi, religi, status sosial seseorang dalam masyarakat, serta bisa pula
sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Karena itulah,
tato bagi masyarakat Dayak tidak dapat dibuat sembarangan. Meski demikian,
secara religi tato memiliki makna sama dalam masyarakat Dayak, yakni sebagai
“obor” dalam perjalanan seseorang menuju alam keabadian, setelah kematian14.
Karena itu, jumlah tato yang semakin banyak menunjukkan semakin banyaknya
“obor” yang akan menerangi perjalanan seseorang ke alam keabadian namun yang
perlu diperhatikan di sini adalah pembuatan tato juga tidak bisa dibuat
sebanyak-banyaknya secara sembarangan, karena harus memenuhi aturan adat.
Baik tato pada lelaki maupun perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan
duri buah jeruk yang panjang dan lambat-laun kemudian menggunakan beberapa buah
jarum sekaligus15. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang
biasanya menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam. Inilah yang
membuat tato Dayak berbeda dengan tato-tato lainnya yang kerap menggunakan
berbagai warna untuk alasan keindahan.
Namun
sayangnya nilai tato Dayak yang tadinya begitu luhur, yaitu menggambarkan
“obor” yang akan menerangi jalan si empunya menuju alam keabadian, kini telah
bergeser nilainya. Kini, tato Dayak tak lebih hanya dianggap sebagai lambang
untuhgagah- gagahan, terutama bagi kalangan generasi mudanya. Anggapan tato
sebagai simbol kegagahan ini serupa dengan anggapan masyarakat luar Dayak, tato
biasa diidentikkan dengan preman-preman yang dapat dikatakan gagah. Anggapan
inilah yang kemudian merasuk ke dalam pemuda-pemudi Dayak, melalui suatu proses
globalisasi. Globalisasi telah membuat nilai Tato Dayak bergeser menjadi tato
untukgaga h -gagahan dan kekerasan semata. Hanya beberapa orang tua di desa itu
saja yang masih menaruh perhatian, seraya berpendapat bahwa modernisasi telah
melemahkan aspek kebudayaan tradisional yang satu ini16. Menanggapi hal ini,
Laurensius Ding Lie, yang menyebut dirinya pembuat Art Tatoo Dayak di Kampung
Long Bagun Ilir, menyatakan keprihatinannya. Ia prihatin dengan citra tato yang
identik dengan kekerasan. Apalagi belakangan ini semakin banyak warga non-Dayak
yang meminta untuk ditato Dayak, tanpa mengetahui esensi sebenarnya dari
tato Dayak tersebut. Inilah yang sangat disayangkan, ketika nilai budaya dari
suatu kebudayaan hilang dan tergantikan oleh nilai lain yang dapat dikatakan
melenceng dari nilai aslinya karena proses modernisasi dan globalisasi.
kepustakaan
1.
Dr. Yekti Maunati, Identitas Dayak Komodifikasi dan Politik Kebudayaan,
(Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2004), hal.149.
2.
Ibid. hal. 151
3.
Ibid. hal. 154.
4.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan
Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Wujud Arti dan Fungsi Puncak-Puncak
Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan Timur, (Samarinda: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya
Kalimantan Timur, 1995/1996).
5.
Konsep „negeri orang yang dimaksud di sini tidak selalu harus berarti negara
lain, tapi juga dapat berarti wilayah yang menjadi milik kelompok lain.
6.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan
Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur,o p .cit, hal. 120-122.
7.
M. Sjaifullah dan Try Harijono, Makna Tato bagi Masyarakat Dayak,
http://www2.kompas.com/kompas-cetak /0410/22/tanahair/1339279.htm, diakses pada
22 Mei 2008, pukul 15.32
8.
Ibid.
9. Dr. Yekti Maunati,o p. cit, hal. 155.
9. Dr. Yekti Maunati,o p. cit, hal. 155.
No comments:
Post a Comment